Motivasi Produsen dalam Berproduksi
Motivasi Produsen
dalam Berproduksi
Dalam ekonomi Islam
ada beberapa nilai yang membuat sistem produksi sedikit berbeda, di mana barang
yang diproduksi dan proses produksi serta proses distribusi harus sesuai dengan
nilai-nilai syariah. Dalam artian, semua kegiatan yang bersentuhan dengan
proses produksi dan distribusi harus dalam kerangka halal. Karena itu,
terkadang dalam sistem ekonomi Islam ada pembatasan produksi terhadap
barang-barang mewah dan bukan merupakan barang kebutuhan pokok. Dengan tujuan
untuk menjaga resources ( sumber penghasilan ) yang ada agar tetap
optimal.[1]
Di samping itu, ada beberapa nilai yang dapat dijadikan sandaran oleh produsen
sebagai motivasi dalam melakukan proses produksi, yaitu:[2]
1)
Profit bukanlah satu-satunya elemen pendorong dalam berproduksi, sebagaimana
halnya yang terjadi pada sistem kapitalisme. Kendatipun profit sebagai target
utama dalam produksi, namun dalam sistem ekonomi Islam perolehan secara halal
dan adil dalam profit merupakan motivasi utama dalam berproduksi.
2)
Produsen harus memperhatikan dampak sosial sebagai akibat atas proses
produksi yang dilakukan. Walaupun proses produksi pada suatu lingkungan masyarakat
dianggap mampu menanggulangi masalah sosial (pengangguran), namun harus
memperhatikan dampak negatif dari proses produksi yang berimbas pada masyarakat
dan lingkungan, seperti limbah produksi, pencemaran lingkungan, kebisingan,
maupun gangguan lainnya. Selain itu, barang yang diproduksi pun harus
merefleksikan kebutuhan dasar masyarakat, sehingga produktivitas barang dapat
disesuaikan dengan prioritas kebutuhan yang harus didahulukan untuk diproduksi.
3) Produsen harus
memperhatikan nilai-nilai spiritualisme, di mana nilai tersebut harus dijadikan
sebagai penyeimbang dalam melakukan produksi. Di samping produksi bertujuan
untuk mendapatkan profit yang maksimal, produsen berkeyakinan dalam memperoleh
ridho Allah. Hal ini bertujuan untuk menjaga perintah dan larangan Allah dalam
berbagai kegiatan produksi. Selain itu, dalam menetapkan harga barang dan jasa
harus berdasarkan nilai-nilai keadilan. Upah yang diberikan kepada karyawan
harus mencerminkan daya dan upaya yang telah dilakukan oleh karyawan, sehingga
tidak terdapat pihak yang tereksploitasi.[3]
[2] Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam: Di
Tengah Krisis Ekonomi Global, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2001), hlm.73.
Comments
Post a Comment